Salah satu tokoh
kemanusiaan yang pernah hidup di Yogyakarta adalah Romo Mangun, Romo
Mangunwijaya. Saya menyebutnya tokoh kemanusiaan karena beliau telah
menjalankan konsep “memanusiakan manusia” tanpa terbatasi oleh sekat agama,
hirarki organisasi, serta bebas untuk melakukan tanpa takut ancaman pemerintah
yang berkuasa.
Biasanya, tokoh
kemanusiaan pada umumnya berangkat dari orang yang biasa, yang berasal dari
kaum marjinal, kemudian mengalami kegelisahan untuk melakukan perubahan. Itu
resep dasar bagi tokoh yang ingin melakukan perubahan. Namun Romo Mangun ini
berbeda. Beliau adalah seorang dari golongan bangsawan gereja (begitu beliau
menyebut para gembala gereja Katolik), yang kemudian tergerak hatinya untuk menjadi
sosok pelindung bagi orang-orang tersingkirkan.
Orang-orang
tersingkirkan? Mungkin hal tersebut terdengar berlebihan. Namun bagi
orang-orang Kali Code saat itu, yang lingkungan tempat tinggalnya setiap saat
bisa saja diratakan oleh pemerintah atas nama “ketertiban dan kebersihan kota”,
julukan itu adalah hal biasa. Atau bagi para gelandangan sebenarnya (sekarang
gelandangan sudah menjadi profesi), orang-orang tersingkirkan juga hal julukan
yang lumrah. Bagi orang-orang Kedung Ombo yang kampungnya akan ditenggelamkan
dan diganti biaya tanahnya dengan dana yang sangat menyakitkan, julukan itu
adalah hal yang pantas disemat. Romo Mangun hadir untuk mereka.
Romo Mangun hadir
bukan dalam bentuk seseorang yang dermawan dengan membawa kantong uang atau
bantuan material di punggungnya. Namun beliau hadir secara personal, membaur
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut, memberi pendidikan dan teladan
yang baik, sekaligus memberi advokasi bagi hak-hak mereka. Beliau tidak hadir dalam
jubah rohaniwan namun dalam kaos serta celana pendek di kamar sempit Kali Code.
Bila ada orang-orang kaya yang kemudian memberi bantuan bagi kaum marjinal,
beliau mempersilakan.
Inspirasi tersebut
saya dapatkan di dalam buku Kotak Hitam Sang Burung Manyar, penulis Y. Suyatno
Hadiatmojo, Pr., penerbit Galangpress. Buku dengan 110 halaman ini memberikan
banyak pelajaran hidup bagi saya tentang kebijaksanaan Romo Mangun dalam
menyikapi masalah. Dalam banyak hal, justru kebijaksanaan itu terasa segar di tengah
jaman yang telah berbeda 15 tahun sejak kematian beliau di tahun 1998.
Dengan peribahasa
jangan memagari rumah dengan beling, tetapi dengan piring, atau nasihat kepada
calon rohaniwan “belajarlah dulu menjadi manusia, bukan malaikat”, Romo Mangun
hadir bukan dalam kapasitas sebagai rohaniwan Katolik yang tekstual, namun
membumi secara kontekstual sesuai ajaran Yesus kepada murid-muridNya. Ketika
iman yang memampukan untuk bahasa Roh dan memindahkan gunung, tetapi tanpa
kasih, hal itu tiada gunanya kan?
Saya tidak menemukan
satupun nama Kitab di Alkitab beserta pasal dan ayatnya. Tetapi saya merasakan
nasihat-nasihat alkitabiah di dalam setiap percakapan Romo Mangun. Dialog yang
terbangun antara Romo Yatno dengan Romo Mangun selayaknya umat dengan pemimpinnya,
bukan untuk menggurui, namun layaknya anak dan orang tua, penuh kasih namun
tegas hitam-putihnya.
Berikut ini adalah
salah satu isi dari kebijaksanaan Romo Mangun dengan beberapa orang
Berbahagialah yang
Minoritas
Dalam satu seminar
tentang mayoritas dan minoritas di Indonesia, ada orang yang bertanya kepada
Romo Mangun, “Romo, sebagai orang minoritas, apa yang harus kami perbuat di
tengah arus globalisasi yang maha dahsyat ini?”
Romo Mangun menjawab
dengan santai, “Memang kenyataannya demikian. Kalau kalian menghendaki menjadi
mayoritas, itu namanya ngimpi, ngoyoworo (mimpi dan tak masuk akal).
Nasib kita itu memang minoritas. Maka berbahagialah yang minoritas. Minoritas
bukan dalam pengertian untuk ingah-ingih (rendah
diri), lalu minder kemudian sembunyi. Justru harus bangga karena kita dipanggil
untuk menjadi terang dan garam dunia.”
“Pernahkah anda makan
bakso dengan garam mayoritas? Kan nggak
enak, bukan? Sebaliknya dengan garam yang minoritas, seluruh bakso menjadi
enak. Pernahkah di malam hari, terang yang mayoritas? Kalau kita itu menyesali
diri sebagai minoritas, payah. Kita ini dipanggil untuk menjadi minoritas lalu
menjadi terang atau garam dunia. Kalau sebagai orang minoritas lalu minder dan
ciut, kita seperti kucing yang kurus badannya, rambut jarang-jarang, suka
mencuri lauk, dan rembesan (mata
berair). Takut sama anjing. Hanya meong-meong menyebalkan, tidak ada
manfaatnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar