“Sing sabar ya
‘Sit. Gusti mboten sare.”
“Iyo
‘Mbok. Tapi Gusti lagi piknik.”
Saya setuju kalau ada yang bilang bahwa film bukan
muluk keindahan semata, tetapi juga pemain, cerita, dan realita yang sedang
berkembang. Film yang bagus dan berkesan akan menarik penontonnya ke alam
pikiran sutradara film, memahami bahasa visual yang disampaikan, dan
menimbulkan mind worm untuk beberapa lama. Kegelisahan muncul karena pesan
dalam film dicerna dan dimaknai sebagai realita.
Hal ini saya dapatkan dalam film berjudul Siti.
Film ini menceritakan Siti sebagai tokoh utama,
memiliki suami bernama Bagus yang lumpuh dan menolak berbicara dengan Siti, dan
memiliki anak bernama Bagas yang mbethik
nakal khas anak-anak. Pada akhir cerita, Bagus akan berkata-kata pada Siti dan
hal itu akan mengubah Siti dan berakhir klimaks.
Hidup miskin bersama suami lumpuh, anak bersekolah,
dan mertua, menjadikan Siti memilih bekerja sebagai penjual peyek jingking
bersama ibunya Bagus dan sebagai LC (ladies
company) pada rumah karaoke Darko. Spektrum hidup yang berkutat pada rumah
gedeg, Parangtritis, dan rumah karaoke, membuat Siti relatif sulit bergerak.
Pada Mulanya Adalah Bentuk Cinta
Menjalani peran sebagai ibu, istri yang bersuamikan
laki-laki lumpuh dan enggan bicara padanya, serta tulang punggung keluarga yang
menanggung hutang, menjadikan Siti sebagai sosok visual yang memiliki benteng
psikologi kuat sekaligus rapuh. Kuat menjalani pekerjaan siang malam namun juga
rapuh dan rindu sosok laki-laki yang ngemong
dirinya. Penolakan suami berbicara pada Siti karena keputusan menjadi LC
menjadikan beban psikologi sepanjang hari.
Siti tidak berusaha mempertentangkan dirinya dengan
nasib buruk. Sikap apatisme terhadap Tuhan tercuat pada ungkapan Tuhan sedang
piknik. Namun dia tidak mengeluh tentang kesulitan hidup. Siti hanya ingin
didengarkan kesehariannya oleh sang suami. Malang, keinginan bercerita justru
ditanggapi dingin oleh Bagas. Pelampiasan kekesalan Siti dinyatakan dengan
menginjak-injak baju pada saat mencuci pakaian.
Protes ini berlanjut dengan ungkapan “asu kowe, mas”
di pantai. Ditemani oleh Sri, sahabatnya, Siti mencoba mengeluarkan uneg-uneg
di pinggir pantai. Alih-alih marah, kata-kata ungkapan itu malah terkesan wagu atau aneh. Ada kesan bahwa teriakan
tersebut bukan untuk mengumpat, tetapi lebih cenderung “ini aku Mas, Siti. Mbok aku diajak ngomong. Tanggapi aku
walau sepatah dua patah kata. Kalau setuju, ngomong. Kalau menolak, ngomong.”
Keraguan dan cenderung menolak pesona polisi juga
disampaikan Siti. Tidak membalas SMS, tidak memandang langsung, juga menolak
dibelai adalah pernyataan sikap Siti terhadap pengkhianatan. Memang, sesekali
Siti terperangkap keinginan hatinya untuk mencoba lepas dari kesulitan hidup
dengan berpindah hati ke polisi. Namun Siti sadar bahwa ia bersuamikan Bagas.
Mencintai Berarti Membiarkan Pergi
Ketika keinginan untuk melunasi hutang telah
tercukupi, dalam keadaan mabuk, Siti bercerita pada Bagas bahwa ia diminta
untuk menikah dengan polisi. Siti bercerita sembari memeluk Bagas layaknya
keseharian dia, bercerita tanpa harus meminta jawaban. Namun malam itu Bagas
kembali berkata. Kata-katanya membuat Siti sakit hati.
Siti kalap.
Siti akhirnya mengeluarkan kata-kata kotor tanpa
kontrol.
Pada sisi ini, Siti tidak menganggap ada dirinya,
ada polisi, namun Siti melihat sudah tidak ada lagi pondasi hidupnya untuk
terus dipertahankan. Keinginan Siti untuk dicintai telah hilang.
Hal ini yang membuat Siti ingin pergi ke laut,
tempat kebahagiaan berada. Siti berniat mengajak Bagus, anaknya. Namun Bagus
menolak.
Saya yakin bahwa Bagas sang suami sebenarnya juga
mencintai Siti. Dia rela melepaskan Siti agar memiliki kehidupan lebih baik. Penolakan
Bagas untuk berbicara sebenarnya cara dia protes akan jaln hidup yang dipilih
Siti.
Gugatan Penderitaan
Tercenung dalam batin saya, bolehkah orang menderita
sedemikian banyak seperti Siti? Pasti kita akan menjawab “tidak”. Namun jawaban
“tidak” akan melahirkan skeptisisme baru yang diaminkan oleh Siti, “Gusti lagi
piknik”. Siti mencoba menyangkal akan campur tangan dalam hidupnya.
Masa demi mendapatkan kebahagiaan harus melewati
duri onak bernama penderitaan. Pandangan demikian akan menggerus nilai
kemanusiaan. Menggerus humanitas.
Manusia pada dasarnya mampu melewati penderitaan. Manusia
marjinal yang diwakili sosok Siti, menghadapi persoalan hidup keseharian
seperti dia. Satu hal, Siti mampu bertahan dan melewati harinya karena dia
merasa dicintai oleh Bagas. Siti menganggap bahwa cara Bagas diam akan pilihan
hidupnya adalah cara Bagas mencintai Siti. Siti menganggap bahwa ketidakmampuan
Bagas beraktivitas tidak menghalangi Bagas untuk mencintai Siti.
Namun itu semuanya hilang hanya karena satu kalimat
“Lungo’o ‘Sit,
lungo’o”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar