Halaman

Jumat, 29 Januari 2016

Film Siti: Siti Dicobai Melebihi Cintanya

Sing sabar ya ‘Sit. Gusti mboten sare.”

“Iyo ‘Mbok. Tapi Gusti lagi piknik.”

Saya setuju kalau ada yang bilang bahwa film bukan muluk keindahan semata, tetapi juga pemain, cerita, dan realita yang sedang berkembang. Film yang bagus dan berkesan akan menarik penontonnya ke alam pikiran sutradara film, memahami bahasa visual yang disampaikan, dan menimbulkan mind worm untuk beberapa lama. Kegelisahan muncul karena pesan dalam film dicerna dan dimaknai sebagai realita.

Hal ini saya dapatkan dalam film berjudul Siti.

Film ini menceritakan Siti sebagai tokoh utama, memiliki suami bernama Bagus yang lumpuh dan menolak berbicara dengan Siti, dan memiliki anak bernama Bagas yang mbethik nakal khas anak-anak. Pada akhir cerita, Bagus akan berkata-kata pada Siti dan hal itu akan mengubah Siti dan berakhir klimaks.

Hidup miskin bersama suami lumpuh, anak bersekolah, dan mertua, menjadikan Siti memilih bekerja sebagai penjual peyek jingking bersama ibunya Bagus dan sebagai LC (ladies company) pada rumah karaoke Darko. Spektrum hidup yang berkutat pada rumah gedeg, Parangtritis, dan rumah karaoke, membuat Siti relatif sulit bergerak.

Pada Mulanya Adalah Bentuk Cinta
Menjalani peran sebagai ibu, istri yang bersuamikan laki-laki lumpuh dan enggan bicara padanya, serta tulang punggung keluarga yang menanggung hutang, menjadikan Siti sebagai sosok visual yang memiliki benteng psikologi kuat sekaligus rapuh. Kuat menjalani pekerjaan siang malam namun juga rapuh dan rindu sosok laki-laki yang ngemong dirinya. Penolakan suami berbicara pada Siti karena keputusan menjadi LC menjadikan beban psikologi sepanjang hari.

Siti tidak berusaha mempertentangkan dirinya dengan nasib buruk. Sikap apatisme terhadap Tuhan tercuat pada ungkapan Tuhan sedang piknik. Namun dia tidak mengeluh tentang kesulitan hidup. Siti hanya ingin didengarkan kesehariannya oleh sang suami. Malang, keinginan bercerita justru ditanggapi dingin oleh Bagas. Pelampiasan kekesalan Siti dinyatakan dengan menginjak-injak baju pada saat mencuci pakaian.

Protes ini berlanjut dengan ungkapan “asu kowe, mas” di pantai. Ditemani oleh Sri, sahabatnya, Siti mencoba mengeluarkan uneg-uneg di pinggir pantai. Alih-alih marah, kata-kata ungkapan itu malah terkesan wagu atau aneh. Ada kesan bahwa teriakan tersebut bukan untuk mengumpat, tetapi lebih cenderung “ini aku Mas, Siti. Mbok aku diajak ngomong. Tanggapi aku walau sepatah dua patah kata. Kalau setuju, ngomong. Kalau menolak, ngomong.”

Keraguan dan cenderung menolak pesona polisi juga disampaikan Siti. Tidak membalas SMS, tidak memandang langsung, juga menolak dibelai adalah pernyataan sikap Siti terhadap pengkhianatan. Memang, sesekali Siti terperangkap keinginan hatinya untuk mencoba lepas dari kesulitan hidup dengan berpindah hati ke polisi. Namun Siti sadar bahwa ia bersuamikan Bagas.

Mencintai Berarti Membiarkan Pergi
Ketika keinginan untuk melunasi hutang telah tercukupi, dalam keadaan mabuk, Siti bercerita pada Bagas bahwa ia diminta untuk menikah dengan polisi. Siti bercerita sembari memeluk Bagas layaknya keseharian dia, bercerita tanpa harus meminta jawaban. Namun malam itu Bagas kembali berkata. Kata-katanya membuat Siti sakit hati.

Siti kalap.

Siti akhirnya mengeluarkan kata-kata kotor tanpa kontrol.

Pada sisi ini, Siti tidak menganggap ada dirinya, ada polisi, namun Siti melihat sudah tidak ada lagi pondasi hidupnya untuk terus dipertahankan. Keinginan Siti untuk dicintai telah hilang.

Hal ini yang membuat Siti ingin pergi ke laut, tempat kebahagiaan berada. Siti berniat mengajak Bagus, anaknya. Namun Bagus menolak.

Saya yakin bahwa Bagas sang suami sebenarnya juga mencintai Siti. Dia rela melepaskan Siti agar memiliki kehidupan lebih baik. Penolakan Bagas untuk berbicara sebenarnya cara dia protes akan jaln hidup yang dipilih Siti.

Gugatan Penderitaan
Tercenung dalam batin saya, bolehkah orang menderita sedemikian banyak seperti Siti? Pasti kita akan menjawab “tidak”. Namun jawaban “tidak” akan melahirkan skeptisisme baru yang diaminkan oleh Siti, “Gusti lagi piknik”. Siti mencoba menyangkal akan campur tangan dalam hidupnya.

Masa demi mendapatkan kebahagiaan harus melewati duri onak bernama penderitaan. Pandangan demikian akan menggerus nilai kemanusiaan. Menggerus humanitas.

Manusia pada dasarnya mampu melewati penderitaan. Manusia marjinal yang diwakili sosok Siti, menghadapi persoalan hidup keseharian seperti dia. Satu hal, Siti mampu bertahan dan melewati harinya karena dia merasa dicintai oleh Bagas. Siti menganggap bahwa cara Bagas diam akan pilihan hidupnya adalah cara Bagas mencintai Siti. Siti menganggap bahwa ketidakmampuan Bagas beraktivitas tidak menghalangi Bagas untuk mencintai Siti.

Namun itu semuanya hilang hanya karena satu kalimat

Lungo’o ‘Sit, lungo’o

Tidak ada komentar:

Posting Komentar