Halaman

Kamis, 06 September 2018

Film Searching

Kita cenderung lupa bahwa kebahagiaan bukanlah datang dan mendapatkan sesuatu yang tidak kita miliki, tetapi mengenali dan menghargai apa yang sudah kita miliki
Frederick Koenig.

Hari Senin malam kemarin saya mencoba mengunjungi bioskop untuk menonton film “Searching”. Tentunya setelah seharian beraktivitas ini mencari hiburan. Saya tidak berekspektasi apapun terhadap film ini. Mau bagus ataupun jelek filmnya, yang penting bisa duduk nyaman nonton film.

Iya, duduk nyaman dan nonton film.

Agaknya setelah sampai di bioskop dan membeli tiket, saya kesulitan mendapatkan kursi nyaman impian itu. Jam film yang saya tuju yaitu jam 21.00 WIB. Sedangkan saya membeli tiket jam 20.00. Tapi golden seat telah habis. Tinggal tersisa satu kursi saja. Yaitu…
.
.
jeng.. jeng.. jeng..

M 3.

Kalo tahu susunan kursi di Cineplex 21, pasti paham bahwa kursi tersebut berada di ujung bawah persis di bawah layar.

Bisa kamu bayangkan, duduk di bawah persis layar. Kepala mendangak itu pasti. Itu belum cukup. Kursi saya berada pada deret ujung dekat lorong di sebelah kanan layar. Posisi kepala mendongak ke atas lalu leher dibelokkan ke kiri.
.
uh…..
Coba deh sesekali kamu dapat kursi ini.

Yasudahlah, daripada tidak nonton, mending tiket tersebut saya tebus. Saya juga lagi malas menonton film Indonesia yang lagi tanya.

Oke, itu pembukaan saja. Sekarang bagaimana kesan saya terhadap film tersebut?

----------------------------------------------------------------

Film “Searching” merupakan film baru rilis Agustus 2018. film ini menarik, dibuka oleh adegan sebuah keluarga yang dibintangi aktor dan aktris Asia-Amerika, berlatar belakang di Amerika Serikat, dan konteks waktunya yaitu masa Windows XP sampai waktu kini.

Disutradarai oleh Aneesh Chaganty yang dulunya pernah bekerja di Google. Selain menyutradarai film, Chaganty beserta Sev Ohanian menulis jalinan cerita yang rapi dan mampu menjaga misteri sampai akhir film. Searching mengajak penonton untuk ikut menebak dan “mencari” ujung cerita ini.

Berdurasi 102 menit, film ini tidak membuat saya bosan. Awalnya saja sudah menarik sih. Bocoran saja nih, kalau kamu pernah memakai dan familiar dengan Windows XP, maka suara booting dan wallpaper produk Microsoft itu akan menjadi semacam pintu masuk ke cerita.

Kemunculan sebuah keluarga tanpa dialog akan menjadi pondasi awal cerita. Kisah keluarga yang memasukkan foto-foto, video, menandai peristiwa penting ke Calender, semuanya terjalin pada interaksi mereka di komputer, dari anak mereka yang kecil, tumbuh remaja, dan kematian menjemput ibunda Margot Kim.

Kematian sang ibunda berpengaruh pada Margot dan David, sang ayah. Namun keduanya mencoba menekan perasaan sedih tersebut dan berpura-pura bahwa kesedihan itu telah hilang.

Lalu bagaimana cerita selengkapnya?
Silakan nonton saja.
Hehehehe….

Tapi ada hal-hal yang saya tangkap dari film ini.

Film Searching menyinggung hal yang berhubungan dengan anonimitas pada media sosial. Akun bodong akan mendapatkan spotlight pada film ini. Sebuah akun bodong akan mencoba menjangkau Margot Kim yang ia sukai sejak lama. Lalu bagaimana sebuah akun bodong akan mengelabui sosok remaja Margot Kim, mencoba mencari perhatian dan mendapatkan rasa percaya dari Margot. Saking percayanya pada akun bodong tersebut, Margot rela menabung dan mentransfer uang ke Fish_and_Chips, si akun anonim tersebut.

Selain mengemukakan kasus anonimitas media sosial, film Searching berbicara juga tentang pola asuh. Pola asuh antara David Kim kepada Margot Kim.

David mengira ia mengenal putrinya dengan baik karena telah mengasuhnya sejak kecil. Tetapi lambat laun ia sadar bahwa dirinya tidak mengenal satupun nama teman putrinya, baik yang sejenis maupun lawan jenis.

David mengira bahwa dengan mentransfer uang sekian dolar, putrinya akan bertahan les piano. Tapi dia salah.

David tidak tahu kehidupan sosial putrinya. Dia tidak tahu bahwa putrinya telah berhenti bermain piano selama 6 bulan karena setiap menekan tuts piano maka dia teringat ibunya. David bahkan tidak tahu bahwa putrinya menghisap ganja bareng dengan Peter Kim alias omnya.

Davud tergagap dengan peran sebagai ayah sekaligus ibu bagi Margot. Sang ibunda yang meninggal karena kanker telah mengguncang kehidupan David. Bukan hanya sebagai suami tetapi juga sebagai ayah bagi Margot.

Pengelolaan rasa duka juga disentil pada film ini. David Kim memilih menekan rasa duka ketimbang membicarakan dan mengatasi bersama dengan putrinya. Ketika David ingat bahwa hari itu adalah hari ultah almh. istrinya, dia hendak memberitahu hal tersebut pada Margot. Tapi akhirnya dia mencoba membelokkan dengan pembicaraan acara televisi. David merasa gugup berbicara tentang sang istri pada Margot.

Dukacita tidak bisa ditutupi

Hal ini mengingatkan saya akan tradisi di Jawa berupa kenduri yaitu mengingat almarhum pada hari ke-3, ke-40, ke-1000. Setidaknya tradisi itu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dengan mencoba mengingat dan mendoakan.

Di internet maupun di kehidupan nyata, akan selalu ada “burung pemakan bangkai” yang berwujud orang-orang yang mendadak dan merasa mengenal Margot Kim. Entah apa tujuan mereka. Tapi benefit dalam film ini berupa semakin banyak follower, semakin banyak like, tersorot kamera televisi.

Banyak kan di kehidupan nyata seperti ini, mendadak kenal dan akrab demi keuntungan diri sendiri.

Dan terakhir, jejak digital itu bisa dilacak. Simpel. Silakan cari penjelasannya sendiri di film ini

------------------------------------------------------------------------

Setidaknya setelah menonton film ini saya merasa terhibur sekaligus nyeri leher karena cara nonton yang ga well. Lain kali memesannya agak lebih awal atau sekalian saja menggunakan mtix.
Hehehe..

2 komentar:

  1. I've seen this movie too! It's Kak Kristyo for sure ahahah...selalu panjang ya pak kalau membahas sesuatu...

    BalasHapus