Halaman

Sabtu, 30 November 2013

Kotak Hitam Sang Burung Manyar – Romo Mangun dalam Bentuk Dialogis



Salah satu tokoh kemanusiaan yang pernah hidup di Yogyakarta adalah Romo Mangun, Romo Mangunwijaya. Saya menyebutnya tokoh kemanusiaan karena beliau telah menjalankan konsep “memanusiakan manusia” tanpa terbatasi oleh sekat agama, hirarki organisasi, serta bebas untuk melakukan tanpa takut ancaman pemerintah yang berkuasa.

Biasanya, tokoh kemanusiaan pada umumnya berangkat dari orang yang biasa, yang berasal dari kaum marjinal, kemudian mengalami kegelisahan untuk melakukan perubahan. Itu resep dasar bagi tokoh yang ingin melakukan perubahan. Namun Romo Mangun ini berbeda. Beliau adalah seorang dari golongan bangsawan gereja (begitu beliau menyebut para gembala gereja Katolik), yang kemudian tergerak hatinya untuk menjadi sosok pelindung bagi orang-orang tersingkirkan.

Orang-orang tersingkirkan? Mungkin hal tersebut terdengar berlebihan. Namun bagi orang-orang Kali Code saat itu, yang lingkungan tempat tinggalnya setiap saat bisa saja diratakan oleh pemerintah atas nama “ketertiban dan kebersihan kota”, julukan itu adalah hal biasa. Atau bagi para gelandangan sebenarnya (sekarang gelandangan sudah menjadi profesi), orang-orang tersingkirkan juga hal julukan yang lumrah. Bagi orang-orang Kedung Ombo yang kampungnya akan ditenggelamkan dan diganti biaya tanahnya dengan dana yang sangat menyakitkan, julukan itu adalah hal yang pantas disemat. Romo Mangun hadir untuk mereka.

Romo Mangun hadir bukan dalam bentuk seseorang yang dermawan dengan membawa kantong uang atau bantuan material di punggungnya. Namun beliau hadir secara personal, membaur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut, memberi pendidikan dan teladan yang baik, sekaligus memberi advokasi bagi hak-hak mereka. Beliau tidak hadir dalam jubah rohaniwan namun dalam kaos serta celana pendek di kamar sempit Kali Code. Bila ada orang-orang kaya yang kemudian memberi bantuan bagi kaum marjinal, beliau mempersilakan. 

Inspirasi tersebut saya dapatkan di dalam buku Kotak Hitam Sang Burung Manyar, penulis Y. Suyatno Hadiatmojo, Pr., penerbit Galangpress. Buku dengan 110 halaman ini memberikan banyak pelajaran hidup bagi saya tentang kebijaksanaan Romo Mangun dalam menyikapi masalah. Dalam banyak hal, justru kebijaksanaan itu terasa segar di tengah jaman yang telah berbeda 15 tahun sejak kematian beliau di tahun 1998. 

Dengan peribahasa jangan memagari rumah dengan beling, tetapi dengan piring, atau nasihat kepada calon rohaniwan “belajarlah dulu menjadi manusia, bukan malaikat”, Romo Mangun hadir bukan dalam kapasitas sebagai rohaniwan Katolik yang tekstual, namun membumi secara kontekstual sesuai ajaran Yesus kepada murid-muridNya. Ketika iman yang memampukan untuk bahasa Roh dan memindahkan gunung, tetapi tanpa kasih, hal itu tiada gunanya kan?

Saya tidak menemukan satupun nama Kitab di Alkitab beserta pasal dan ayatnya. Tetapi saya merasakan nasihat-nasihat alkitabiah di dalam setiap percakapan Romo Mangun. Dialog yang terbangun antara Romo Yatno dengan Romo Mangun selayaknya umat dengan pemimpinnya, bukan untuk menggurui, namun layaknya anak dan orang tua, penuh kasih namun tegas hitam-putihnya.  

Berikut ini adalah salah satu isi dari kebijaksanaan Romo Mangun dengan beberapa orang
Berbahagialah yang Minoritas
Dalam satu seminar tentang mayoritas dan minoritas di Indonesia, ada orang yang bertanya kepada Romo Mangun, “Romo, sebagai orang minoritas, apa yang harus kami perbuat di tengah arus globalisasi yang maha dahsyat ini?”
Romo Mangun menjawab dengan santai, “Memang kenyataannya demikian. Kalau kalian menghendaki menjadi mayoritas, itu namanya ngimpi, ngoyoworo (mimpi dan tak masuk akal). Nasib kita itu memang minoritas. Maka berbahagialah yang minoritas. Minoritas bukan dalam pengertian untuk ingah-ingih (rendah diri), lalu minder kemudian sembunyi. Justru harus bangga karena kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia.”
“Pernahkah anda makan bakso dengan garam mayoritas? Kan nggak enak, bukan? Sebaliknya dengan garam yang minoritas, seluruh bakso menjadi enak. Pernahkah di malam hari, terang yang mayoritas? Kalau kita itu menyesali diri sebagai minoritas, payah. Kita ini dipanggil untuk menjadi minoritas lalu menjadi terang atau garam dunia. Kalau sebagai orang minoritas lalu minder dan ciut, kita seperti kucing yang kurus badannya, rambut jarang-jarang, suka mencuri lauk, dan rembesan (mata berair). Takut sama anjing. Hanya meong-meong menyebalkan, tidak ada manfaatnya.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar