Halaman

Senin, 21 September 2015

Film Everest: Aroma Kematian di Puncak Tertinggi Dunia

Pendakian puncak tertinggi dunia, Puncak Everest, kembali dijadikan film. Iya, setelah beberapa tahun yang lalu ada film berjudul Into Thin Air, berdasarkan buku tulisan John Krakauer dengan judul yang sama, maka tahun 2015 rilis film berjudul Everest. Film ini disutradarai oleh Baltasar Kormakur dan dibintangi oleh beberapa bintang film Hollywood dan beberapa sherpa.

Iya, sherpa. Orang yang biasanya membantu pendaki di daerah pegunungan Himalaya juga dijadikan bintang dalam film ini. Salah satu namanya Sherpa Ang Phula.

Kembali ke film Everest. Film ini mengingatkan saya akan koleksi majalah Intisari beberapa tahun yang lalu. Pernah saya setiap bulan menyisihkan uang saku sekolah untuk membeli majalah Intisari. Harganya cukup mahal, Rp15.000,00, mengingat uang saku saya saat itu berkisar antara Rp1.000,00 - Rp3.000,00.

Ternyata ingatan saya benar. Kisah tentang tragedi Everest yang difilmkan pernah ditulis di Intisari edisi Oktober 2004. Artikelnya berjudul Halusinasi & Aroma Kematian di Everest ditulis Dharnoto berdasarkan cukilan buku Into Thin Air karya John Krakauer.


Film Everest bercerita tentang sekelompok pendaki yang menggunakan jasa pemandu komersial bernama Adventure Consultants, dipimpin oleh Rob Hall. Tugas Rob Hall adalah memandu para pendaki dengan selamat. Salah satu anggota tim yang menonjol adalah Doug Hansen yang telah dua kali mencoba mendaki Puncak Everest namun gagal. Kali ini adalah pendakian yang ketiga dan terakhirnya.

Untuk bergabung dengan pendakian Everest, setiap pendaki membayar $65.000,00, kecuali John Krakauer. Dia bebas biaya ekspedisi dengan imbalan berupa Rob Hall dan Adventure Consultants berhak tampil di majalah Outside, tempat Krakauer bekerja.

Pada saat di Base Camp, rombongan Rob Hall bertemu dengan beberapa biro jasa pemandu lainnya. Salah satunya Scott Fischer, pemilik Mountain Madness. Sempat timbul ketegangan antara Rob Hall dan Scott Fischer, namun mereka berdua mampu meredam emosi dan mencoba mendaki bersama menuju Puncak Everest.

Ketegangan mulai terjadi selepas Camp 4 menuju puncak. Di daerah Hillary Step, sherpa yang bertugas memasang di tebing tidak mampu berbuat banyak karena sherpa pembawa tali masih berada di Camp 4. Akhirnya diputuskan pemasangan tali menggunakan peralatan yang ada. Namun upaya ini membawa efek pada waktu tunggu hingga 1,5 jam. Padahal kebutuhan tabung oksigen tiap pendaki terbatas. 

Setelah berusaha, akhirnya beberapa anggota tim dari Rob Hall dan Scott Fischer mampu menyentuh Puncak Everest.

Saat turun, terjadi badai angin dan salju. Badai inilah yang merenggut nyawa Rob Hall, Scott Fischer, Yasuko Namba, Andy Harris, dan Doug Hansen.

Film Everest ini menjadi semacam film pembeda dari arus utama sekarang, film tentang superhero atau drama percintaan. Film menjadi semacam film petualangan pada ketinggian berbeda yang disertai oleh badai alam. Tantangan alam telah menjadi main course film ini.

Bagi para pendaki gunung, puncak gunung bukan saja merupakan tujuan, namun berupa "kata kerja" dalam hidup mereka. Briefing Rob Hall pada saat persiapan tim mengatakan bahwa tubuh manusia tidak diciptakan untuk berfungsi secara normal pada ketinggian yang setara pesawat Boeing 747 dan pada ketinggian tersebut maka akan mulai sekarat. Pendaki harus meletakkan rasa percaya pada pimpinan tim, yaitu Hall. Setiap pendaki telah membayar uang yang banyak pada biro ekspedisi, maka mereka harus percaya uang itu akan mengantarkan mereka menuju puncak dan turun dengan selamat.

Bahaya juga ketidaknyamanan yang menghinggapi orang-orang yang telah mendaki Himalaya akan mereka dapatkan. Rasa dingin, kehausan, ketakutan, sulit bernapas, dan bahaya dari alam akan mereka rengkuh. Namun pendaki mempersiapkan diri dan pergi jauh dari rumah hanya bukan untuk berhenti di base camp. Tujuan dan tantangan mereka yaitu Puncak Everest. Namun pada akhirnya, pendaki tersebut akan mendapatkan pengalaman yang buruk yang dapat mereka bayangkan.

Serupa dengan kita, setiap orang akan memimpikan "Puncak Everest"-nya. Kenapa orang bisa membayangkan puncak tersebut, kenapa orang melakukan hal tersebut, kenapa orang orang memilih menghadapi "Puncak Everest" itu, orang membutuhkan inspirasi untuk ke puncak itu. Pada saat mereka turun dari puncak, mereka menjadi inspirasi bagi orang lain. Seberapa pun usaha seseorang untuk lari dari masalah, walaupun mereka mencintai "Puncak Everest"-nya, mereka harus tetap rendah hati sekaligus bangga akan puncak tersebut.


So, do we?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar